Hai, bagi lo-lo pada terutama anak-anak SMA Negeri Ajibarang yang lagi ditugasin sama Bu Dewi Mutiara imut tentang pengertian HAM menurut para ahli atau tokoh terkenal atau orang-orang penting di dunia maupun di Indonesia, gue punya nih. Cekidot :D
Pengertian HAM menurut John Locke.
Hak
Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka
1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM).
Menurut Jack Donnely,
hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata
karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan
kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan
semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.
Sementara Meriam Budiardjo,
berpendapat bahwa hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia
yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahirannya di
dalam kehidupan masyarakat. Dianggap bahwa beberapa hak itu dimilikinya
tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama, kelamin dan karena itu
bersifat universal.
Nilai
universal ini yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai produk hukum
nasional di berbagai negara untuk dapat melindungi dan menegakkan
nilai-nilai kemanusian. Bahkan nilai universal ini dikukuhkan dalam
intrumen internasional, termasuk perjanjian internasional di bidang HAM.
Sementara
dalam ketentuan menimbang huruf b Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar
yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan
langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan
tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun.
Mengenai
perkembangan pemikiran hak asasi manusia, Ahli hukum Perancis, Karel
Vasak mengemukakan perjalanan hak asasi manusia dengan
mengklasifikasikan hak asasi manusia atas tiga generasi yang
terinspirasi oleh tiga tema Revolusi Perancis, yaitu : Generasi Pertama;
Hak Sipil dan Politik (Liberte); Generasi Kedua, Hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya (Egalite) dan Generasi Ketiga, Hak Solidaritas (Fraternite).
Tiga generasi ini perlu dipahami sebagai satu kesatuan, saling berkaitan
dan saling melengkapi. Vasak menggunakan istilah “generasi” untuk
menunjuk pada substansi dan ruang lingkup hak-hak yang diprioritaskan
pada satu kurun waktu tertentu.
Ketiga generasi hak asasi manusia tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Hak asasi manusia generasi pertama,
yang mencakup soal prinsip integritas manusia, kebutuhan dasar manusia,
dan prinsip kebebasan sipil dan politik. Termasuk dalam generasi
pertama ini adalah hak hidup, hak kebebasan bergerak, perlindungan
terhadap hak milik, kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan,
kebebasan berkumpul dan menyatakan pikiran, hak bebas dari penahanan dan
penangkapan sewenang-wenang, hak bebas dari hukum yang berlaku surut
dsb. Hak-hak generasi pertama ini sering pula disebut sebagai “hak-hak
negatif” karena negara tidak boleh berperan aktif (positif) terhadapnya,
karena akan mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak dan kebebasan
tersebut.
2. Pada perkembangan selanjutnya yang dapat disebut sebagai hak asasi manusia Generasi Kedua,
konsepsi hak asasi manusia mencakup pula upaya menjamin pemenuhan
kebutuhan untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan kebudayaan,
termasuk hak atas pendidikan, hak untuk menentukan status politik, hak
untuk menikmati ragam penemuan penemuan-penemuan ilmiah, dan lain-lain
sebagainya. Puncak perkembangan kedua ini tercapai dengan
ditandatanganinya ‘International Couvenant on Economic, Social and
Cultural Rights’ pada tahun 1966. Termasuk dalam generasi kedua ini
adalah hak atas pekerjaan dan upah yang layak, hak atas jaminan sosial,
hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas pangan, hak atas
perumahan, hak atas tanah, hak atas lingkungan yang sehat dsb. Dalam
pemenuhan hak-hak generasi kedua ini negara dituntut bertindak lebih
aktif (positif), sehingga hak-hak generasi kedua ini disebut juga
sebagai “hak-hak positif”.
3. Hak-hak generasi ketiga diwakili
oleh tuntutan atas “hak solidaritas”” atau “hak bersama”. Hak-hak ini
muncul dari tuntutan gigih negara-negara berkembang atau Dunia Ketiga
atas tatanan internasional yang adil. Melalui tuntutan atas hak
solidaritas itu, negara-negara berkembang menginginkan terciptanya suatu
tatanan ekonomi dan hukum internasional yang kondusif bagi terjaminnya
hak-hak berikut :
- Hak atas pembangunan.
- Hak atas perdamaian.
- Hak atas sumber daya alam sendiri.
- Hak atas lingkungan hidup yang baik.
- Hak atas warisan budaya sendiri.
DEFINISI HAM yang Sejati.
Hak asasi manusia merupakan salah satu
frase yang paling sering diucapkan dalam enam dekade ini. Sayangnya,
sering kali istilah tersebut tidak digunakan dalam konteks yang tepat,
sehingga malah mengaburkan makna sejatinya. Berikut ini sebuah ilustrasi
ekstrim yang mestinya bisa menggambarkan apa sesungguhnya hak asasi
manusia itu…
Seandainya
anda menampar pipi saya, sebenarnya anda tidaklah melanggar hak asasi
saya. Tapi, pemerintah negara ini wajib memiliki aturan yang melarang
anda menampar pipi saya, serta siap menghukum anda jika sampai menampar
pipi saya. Jika pemerintah tidak memiliki aturan tersebut, atau tidak
berupaya menegakkannya, maka pemerintahlah yang melanggar hak asasi
saya.
Dari
sini kita bisa melihat bahwa obyek hukum dari hak asasi manusia adalah
pemerintahan negara. Kenapa? Jawabannya ada pada sistem Westphalia.
Perjanjian
Westphalia tahun 1648 mengukuhkan kedaulatan bagi setiap negara bangsa.
Dalam sistem ini, pemerintahan negara punya wewenang tertinggi untuk
membuat dan menjalankan segala regulasi yang mengikat semua warga di
wilayahnya. Jadi, tidak ada instrumen eksternal apapun yang bisa
mengatur pemerintahan negara.
Dalam
perkembangannya, hal ini menimbulkan berbagai problem. Pemerintahan
negara merasa berhak memperlakukan warganya dengan cara apapun, tanpa
halangan dari negara lain. Akibatnya, sering terjadi beragam represi
oleh pemerintahan negara terhadap warganya sendiri.
Represi
semacam ini ternyata memiliki implikasi eksternal. Warga di negara
lain—terutama negara tetangganya atau negara yang punya kesamaan
identitas primordial—bisa saja merasa simpati terhadap korbannya,
sehingga mendorong pemerintahnya sendiri untuk melakukan suatu terhadap
pemerintah negara represif tersebut, hingga termasuk menyatakan perang.
Apa yang tadinya dianggap sebagai urusan domestik pun menjadi isu
internasional.
Hal
seperti ini banyak terjadi dalam tiga abad setelah Perjanjian
Westphalia. Yang paling parah adalah dalam Perang Dunia I dan Perang
Dunia II. Seusai Perang Dunia I, masyarakat internasional telah mencoba
merumuskan hukum yang mengikat pemerintahan negara mengenai perlakuan
terhadap warganya. Dari situ, lahirlah League of Nations.
Tapi,
liga ini tidak bertahan lama dan pecahlah Perang Dunia II. Ketika
perang ini berakhir, masyarakat internasional mengevaluasi kelemahan
konsep terdahulu, lalu menata kembali perdamaian dunia melalui United
Nations. Kali ini, mereka juga mengeluarkan suatu standar internasional
yang kita kenal sebagai Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948.
Jadi,
hak asasi manusia adalah suatu perangkat hukum supranasional untuk
memaksa setiap pemerintahan negara untuk menghormati hak-hak paling
mendasar bagi manusia yang menjadi warganya. Konsep ini selanjutnya
mengatur bagaimana pemerintah membuat dan melaksanakan aturan mengenai
perlakuan terhadap warganya.
Jika
kembali kepada ilustrasi di atas, konsep hak asasi manusia melindungi
saya, dengan cara “memaksa” pemerintah untuk melindungi saya. Yang bisa
dikatakan melanggar hak asasi manusia hanyalah pemerintah beserta
aparatnya. Penamparan pipi oleh anda terhadap saya adalah pelanggaran
hukum biasa, yang cukup ditangani oleh hukum kriminal. Seandainya anda
merupakan aparat pemerintah dan menampar saya sebagai suatu “kebijakan
negara” (bukan pelanggaran disiplin), anda bisa juga dianggap melakukan
pelanggaran hak asasi manusia dan harus berhadapan dengan perangkat
hukum hak asasi manusia.
Tapi,
pelaksanaan konsep hak asasi manusia tidak berjalan mulus. Hambatan
berasal dari dua pihak, yaitu pihak yang tidak setuju dengan konsep hak
asasi manusia dan pihak yang belum benar-benar memahaminya. Pihak
pertama terutama berideologi fasis, komunis, dan theokratis.
Bagi
mereka, konsep hak asasi manusia adalah penghalang hegemoni yang sedang
mereka pegang (atau mereka incar). Jika rakyat mendapat hak-hak
tersebut, kekuasaan mereka akan berkurang. Karena itu, mereka
mengusahakan agar rakyat tidak mengenal hak asasi manusia, atau memiliki
pandangan negatif terhadapnya.
Yang
paling sering diutarakan adalah bahwa hak asasi manusia merupakan
“konspirasi asing untuk menghancurkan negara”. Apapun yang mereka
lakukan terhadap rakyat adalah cara terbaik bagi negara tersebut, dan
pembatasan kekuasaan pemerintah dalam konsep hak asasi manusia justru
merupakan ancaman bagi negara. Karena itu, para aktivis hak asasi
manusia dianggap subversif dan ditindas.
Agar
propaganda anti-hak asasi manusia ini bisa diterima oleh rakyatnya,
mereka bisa menggunakan dalih budaya atau agama. Sering sekali dikatakan
bahwa hak asasi manusia bertentangan dengan nilai-nilai budaya atau
agama, sehingga tidak layak dianut. Untuk menghadapi stigma semacam ini,
mantan Sekretaris Jenderal United Nations Kofi Annan dalam pidato
peringatan 50 tahun deklarasi universal pada tanggal 10 Desember 1997
menyatakan bahwa:
“Hak
asasi manusia adalah ekspresi dari tradisi toleran yang bisa ditemui di
semua kebudayaan, dan merupakan dasar bagi perdamaian dan kemajuan.
Bila dipahami dengan benar dan adil, hak asasi manusia bukan hal yang
asing bagi setiap kebudayaan dan telah ada di semua bangsa di dunia.”
Ketika
masyarakat dunia semakin menerima konsep hak asasi manusia, pihak
penentangnya kemudian mengambil strategi baru, yaitu merancukan
definisinya. Konsep hak asasi manusia sengaja dijadikan tidak jelas dan
tumpang-tindih dengan konsep hukum lain.
Segala
sesuatu kemudian dikaitkan dengan hak asasi manusia secara tidak
proporsional. Jika ada keributan umum dan ada warga yang menyerang
aparat negara, dikatakan bahwa warga tadi melanggar hak asasi si aparat
negara. Bahkan, jika ada warga yang kecopetan, si pencopet dibilang
melanggar hak asasi manusia. Padahal, pemerintahlah yang sebenarnya
melanggar hak asasi manusia seandainya tidak berusaha menindak si
pencopet.
Dari
sini bisa dilihat bahwa asosiasi antara konsep hak asasi manusia dengan
pemerintah hendak dihilangkan. Pelanggaran hak asasi manusia dan
pelanggaran hukum kriminal jadi campur-aduk. Akibatnya, pelanggaran hak
asasi manusia yang sebenarnya tidak lagi dianggap sebagai pelanggaran
hak asasi manusia. Dan pemerintah tidak lagi dianggap terikat oleh
konsep hak asasi manusia.
Inilah yang saya sebutkan di awal artikel ini.
Kerancuan
konsep hak asasi manusia juga disebabkan oleh penggunaan hak asasi
manusia sebagai dalih untuk melanggar hak asasi manusia. Hal ini sering
dipraktikkan oleh Amerika Serikat, yang secara sepihak mengklaim diri
sebagai kampiun penegakan hak asasi manusia.
Selama
era Perang Dingin, Amerika menghadapi Blok Komunis yang terang-terangan
menentang konsep hak asasi manusia. Nah, dalam memerangi kaum komunis
tersebut, Amerika menghalalkan segala cara. Misalnya, bekerja sama
dengan tokoh-tokoh anti-komunis yang sebenarnya juga tidak sepakat
dengan hak asasi manusia. Contohnya adalah Augusto Pinochet di Chili,
Ferdinand Marcos di Filipina, dan Soeharto di negara kita sendiri.
Komunis memang tidak berkuasa di negara-negara tersebut, tapi
pelanggaran hak asasi manusia juga tetap terjadi, karena mereka hanya
berorientasi pada kekuasaan.
Setelah
peristiwa 9/11, rejim George W Bush kembali melakukan kesalahan yang
sama, jika tidak bisa dibilang lebih parah. Para tawanan perang di
Afghanistan dan Irak mendapat perlakuan sangat buruk, yang paling
terkenal di penjara Abu Ghraib dan kamp Guantanamo. Segala kekejian
tersebut segera dieksploitasi oleh para penentang konsep hak asasi
manusia.
“Hak
asasi manusia itu hipokrit,” demikian propaganda mereka. Ucapan Bush Jr
yang sering menggunakan jargon hak asasi manusia hanya membuat stigma
tersebut semakin buruk dan melekat. Hak asasi manusia—sebagaimana konsep
kemasyarakatan apapun—memang bisa dimanipulasi oleh pihak-pihak yang
sebenarnya bertentangan dengan konsep tersebut. Hal inilah yang perlu
dinetralisir oleh para pengusung konsep hak asasi manusia yang sejati.
Sebelum
citra konsep hak asasi manusia semakin buruk dan tidak bisa efektif
lagi, para pelanggar “dari kubu sendiri” seperti ini perlu disikapi
secara tegas. Prancis dan Jerman, misalnya, telah dengan sigap menjaga
jarak dengan rejim Bush Jr dalam kasus invasi ke Iraq. Bahkan, mereka
kini sibuk mengajukan tuntutan kepada CIA yang telah melanggar
kedaulatan ketika mendaratkan pesawat terbang berisi tawanan terorisme
tanpa izin di bandara-bandara Eropa.
Dalam
masyarakat internasional yang bertumpu pada sistem Westphalia ini, aksi
pengucilan bisa menjadi senjata ampuh untuk menghukum para “trouble
maker“. Negara-negara berstatus superpower pun tidak akan kebal terhadap
aksi ini, karena bagaimanapun juga ekonomi mereka—yang menyokong
kekuatan mereka—tetap tergantung kepada masyarakat internasional.
Selanjutnya, tinggal menunggu tekanan internasional ini menghasilkan
tekanan domestik yang memaksa pemerintah memperbaiki kebijakannya (atau
rejimnya diganti).
Hal
ini sudah terbukti ampuh di Amerika dalam pemilihan presiden lalu.
Rakyat Amerika gerah juga bahwa Bush Jr beserta rejim hawkish-nya
menyeret citra negara ke titik nadir, di mana Amerika kehilangan
legitimasinya untuk menyuarakan hak asasi manusia. Belum lagi ditambah
kesulitan ekonomi, gara-gara keuangan negara dihabiskan untuk membiayai
perang sendirian yang tidak didukung oleh masyarakat internasional.
Maka, bisa kita melihat bagaimana para pengikut Bush Jr dari Partai
Republik gagal mendudukkan para calon barunya di Gedung Putih.
Kembali
ke hak asasi manusia, yang tak kalah pentingnya adalah penyebarluasan
konsep dalam makna yang sejati ini ke seluruh manusia di dunia melalui
proses edukasi yang sistematis. Manusia yang telah menyadari hak
asasinya diharapkan bisa berusaha menjaga sendiri hak asasinya tersebut,
sekaligus menghormati hak asasi manusia lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar